Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian besar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok.
Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia itu senang bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain di dalam kehidupan bermasyarakatnya, maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hidup di masyarakat merupakan manifestasi bakat sosial individu, namun apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka individu yang sesungguhnya berbakat hidup sosial di dalam masyarakat dan lingkungannya akan mengalami kesulitan apabila suatu kelak akan berada di tengah-tengah kehidupan sosialnya
Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antar masayarakat, dan individu dengan masayarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara alami, artinya telah ada sejak manusia dilahirkan ke dunia ini. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam hidup agar agar menjadi matang. Disamping tugas pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu anak dalam upaya mengembangkan dirinya
Salah satu dari sekian banyak landasan yang dipakai dalam pendidikan adalah bagaimana lingkungan sosial pendidikan mempersiapkan individu untuk kelak dapat hidup secara serasi dan berkesinambungan dengan masyarakat sosial dimana nanti individu itu berada. Jadi yang paling penting di sini adalah membekali kemampuan individu agar kelak dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan masyarakat tempat di mana individu tersebut hidup.
Mengapa hidup di tengah-tengah masyarakat sosial itu tidak mudah?,mengapa pendidikan harus memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya manusia?. Hal ini disebabkan karena:
Dengan demikian, nilai-nilai sosial yang terbentuk pada diri individu karena berada dalam lingkungan pergaulan sosialnya yang matang, merupakan landasan dasar guna membentuk dirinya sebagai manusia cerdas yang terbentuk dari lingkungan sosial yang memadai, yang pada akhirnya akan kembali berada dalam tatanan lingkungan masyarakat sosialnya yang lebih luas.
Manusia sejak kecil hidup dalam masyarakat. Ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga, dimana pada saat itu ia telah menjadi anggota lingkungan dan akan tetap menjadi anggota itu, sampai pada akhirnya akan menjadi bagian dari lingkungan sosial yang lebih besar, yakni lingkungan masyarakat dunia. Didalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial akan berinteraksi dengan manusia lain, juga dengan lingkungannya. Didalam berinteraksi itu, maka manusia akan berhadapan dengan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang diberlakukan di tengah-tengah kehidupan sosialnya yang menghendakinya untuk selalu mengikuti kaidah-kaidah tersebut sebagai makhluk sosial, agar sinergis dengan tatanan yang telah diatur sebagai bagian dari budaya sosialnya. Kaidah-kaidah sosial budaya tersebut diantaranya:
Proses sosial dimulai dari interaksi sosial dan dalam proses sosial itu selalu terjadi interaksi sosial. Menurut Made Pidharta (2000), interaksi dan proses sosial didasari oleh faktor-faktor:
1) Imitasi
Imitasi atau peniruan bisa bersifat positif, bisa pula negatif. Kalau anak meniru orang tuanya, gurunya, atau masyarakat lingkungan bergaulnya berpakaian rapai atau bertutur kata yang terpuji, maka anak ini sudah mensosialisasi diri secara positif baik terhadap orang tuanya, guru, maupun lingkungan sosialnya. Tetapi kalau anak meniru perilaku jelek dan negatif yang dilakukan orang tuanya, gurunya, masyarakat dilingkungan sosialnya, maka anak akan masuk pada lingkungan sosial negatif yang kemudian akan membentuk pribadi dan pola tingkah laku sosialnya dimasa datang.
2) Sugesti
Sugesti akan terjadi jika anak menerima atau tertarik pada apa yang dilihatnya terhadap mayoritas sikap orang-orang yang berwibawa dan bernilai positif, serta disegani dan dihormati di lingkungan sosialnya, maka Sugesti terhadap apa yang dilihatnya akan memberi jalan bagi anak untuk mensosialisasi dirinya dengan keadaan tersebut.
3) Identifikasi
Anakpun dapat mensosialisasikan dirinya lewat identifikasi, dimana anak berusaha atau mencoba menyamakan dirinya dengan orang lain, baik secara sadar maupun di bawah sadar.
4) Simpati
Simpati akan terjadi manakala seseorang merasa tertarik kepada orang lain. Faktor perasaan memegang peranan penting dalam simpati. Sebab itu, hubungan yang akrab perlu dikembangkan antara guru, orang tua, lingkungan sosial dengan anak, agar simpati ini mudah muncul, sosialisasi mudah terjadi, dan anak akan tertib mematuhi segala tata aturan yang diberlakukan di lingkungan keluarganya, sekolahnya, maupun di lingkungan masyarakatnya.
Maka untuk memudahkan terjadinya sosialisasi dalam pendidikan, guru perlu menciptakan situasi; terutama pada dirinya sendiri agar faktor-faktor yang mendasari sosialisasi itu muncul pada diri anak-anak. Coleman (1984) dalam Made Pidharta (2000) menulis bahwa hal yang terpenting dari fungsi sekolah ialah memberikan dan membangkitkan kebutuhan sosial dan rekreasi.
Kebutuhan rekreasi di sini membuat anak-anak akan merasa gembira, antusias, dan tidak merasa seperti dipaksa datang ke sekolah. Perasaan seperti ini bertalian erat dengan perasaan sosial. Karena bila anak-anak sudah dapat berteman dengan baik antara satu dengan yang lainnya, maka anak akan merasa aman, bebas dari rasa curiga dan takut, sehingga akan memberikan rasa senang, dan puas dalam belajar di sekolah.
Di dalam proses sosial terdapat interaksi sosial, yaitu suatu hubungan sosial yang dinamis. Interaksi ini menurut Made Pidharta (2000), akan terjadi apabila memenuhi 2 (dua) syarat:
1. Kontak sosial
Kontak sosial ini dapat berlangsung dalam 3 (tiga) bentuk, yakni:
2. Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan sesorang kepada orang lain atau sekelompok orang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara; melalui pembicaraan, mellui mimik, melalui lambang-lambang, dan dengan alat-alat. Sedangkan bentuk-bentuk interaksi sosial menurut Abu Ahmadi (2003) antara lain:
Sedangkan menurut Hassan (1983) dalam Made Pidharta (2000), kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain-lain kepandaian.
Menurut Kneller yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Made Pidharta (2000), menyatakan bahwa kebudayaan adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa kebudayaan adalah hasil karya dan karsa manusia yang dikembangkan sebagai bagian dari peradaban manusia sepanjang masa yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam berlaku dan bertindak.
Kebudayaan bisa dikatakan bertahan lama ditengah-tengah peradaban manusia apabila kebudayaan tersebut memiliki nilai-nilai yang tetap berlaku dan bersifat universal, seperti; norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, adat-adat, tradisi-tradisi, gagasan-gagasan, ideologi-ideologi, teknologi, kesenian, dan benda-benda hasil ciptaan manusia.
Namun kebudayaan tetap akan mengalami proses penyempurnaan dan perubahan-perubahan sesuai perkembangan zaman dan kemajuan yang dicapai manusia. Perubahan-perubahan kebudayaan tersebut menurut Kneller yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Pidharta (2000) disebabkan oleh:
Suatau budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi manusia itu sendiri dalam mengembangkan dirinya. Adakalanya bagian budaya akan dipakai terus-menerus, adakalanya diperbaiki, dan adakalanya diganti dengan yang baru.
Dalam kehidupan manusia, kebudayaan ini perlu ditanamkan dari sejak anak-anak agar nilai-nilai kebudayaan ini bisa diperdomani dan menjadi bagian dari kehidupan anak dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kebudayaan memiliki fungsi sangat sentral dalam kehidupan manusia. Kerbe dan Smith dalam Pidharta (2000) menyebutkan ada 6 (enam) fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia antara lain:
Semua warisan budaya tersebut disampaikan kepada generasi berikutnya lewat transmisi (penyebaran/pengoperan) pendidikan, kegiatan belajar mengajar, dan dengan penekanan pada faktor rasio dan wawasan. Oleh karena itu, upaya mendidik dan kegiatan belajar-mengajar pada anak itu sifatnya lebih kondisional dan kultural. Dalam pandangan ini maka van Peursen (1972) dalam Kartini Kartono (1997) menyebutkan bahwa; seluruh kebudayaan manusia itu adalah produk dari kegiatan belajar, dan kegiatan belajar itu berlangsung terus sepanjang sejarah manusia.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan itu merupakan upaya yang dilakukan manusia dewasa; baik orang tua di dalam keluarga, masyarakat dilingkungan sosial, maupun guru di lingkungan sekolah, secara sadar dengan bantuan lingkungannya yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendewasaan diri.
Pendidikan adalah enkulturasi, dimana pendidikan merupakan suatu proses membuat orang menerima budaya, dan membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang diterimanya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, sebab di manapun orang berada, di situlah terjadi penyerapan nilai-nilai dan proses pendidikan yang berujung pada terciptanya budaya. Keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah adalah salah satu dari media/tempat enkulturasi. Dengan demikian maka sejak dini anak-anak perlu dididik untuk berpikir kritis agar enkulturasi dalam pendidikan tidak menyebabkan kekakuan dan menerima apa adanya.
Sehingga pendidikan itu memiliki fungsi sebagaimana dikemukakan oleh Wuraji (1988) dalam Made Pidharta (2000) antara lain:
Pendidikan juga berfungsi sebagai; transmisi budaya, meningkatkan integritas sosial atau bermasyarakat, mengadakan seleksi dan alokasi tenaga kerja melalui pendidikan itu sendiri, dan mengembangkan kepribadian (Broom:1981 dalam Pidharta:2000).
Sehingga proses belajar yang baik dalam pendidikan tidaklah cukup bila hanya dilaksanakan di sekolah saja, tetapi lingkungan keluarga dan masyarakat juga merupakan wahana yang cukup ideal dalam kegiatan pengembangan pendidikan dan belajar anak. Karena nilai-nilai sosial budaya anak bisa lebih terbentuk sempurna apabila anak berada di tengah-tengah lingungan sosialnya yang nyata sehingga penyerapan nilai-nilai akan terbentuk kuat dalam sikap dan tingkah laku anak dengan cara meniru langsung nilai-nlai sosial budaya yang dialaminya di tengah-tengah lingkungan sosial budaya masyarakatnya.
Ilmu Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia itu senang bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain di dalam kehidupan bermasyarakatnya, maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hidup di masyarakat merupakan manifestasi bakat sosial individu, namun apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka individu yang sesungguhnya berbakat hidup sosial di dalam masyarakat dan lingkungannya akan mengalami kesulitan apabila suatu kelak akan berada di tengah-tengah kehidupan sosialnya
Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antar masayarakat, dan individu dengan masayarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara alami, artinya telah ada sejak manusia dilahirkan ke dunia ini. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam hidup agar agar menjadi matang. Disamping tugas pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu anak dalam upaya mengembangkan dirinya
Salah satu dari sekian banyak landasan yang dipakai dalam pendidikan adalah bagaimana lingkungan sosial pendidikan mempersiapkan individu untuk kelak dapat hidup secara serasi dan berkesinambungan dengan masyarakat sosial dimana nanti individu itu berada. Jadi yang paling penting di sini adalah membekali kemampuan individu agar kelak dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan masyarakat tempat di mana individu tersebut hidup.
Mengapa hidup di tengah-tengah masyarakat sosial itu tidak mudah?,mengapa pendidikan harus memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya manusia?. Hal ini disebabkan karena:
- Bahwa di dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam. Didalam masyarakat memang terdapat begitu banyak tata kehidupan berupa aturan-aturan dan norma-norma yang diberlakukan dan dipatuhi oleh masyarakat karena memiliki nilai-nilai pembentukan kepribadian, berupa norma moral, tradisi, adat kebiasaan, dan aturan sosial.
- Bahwa kepentingan individu yang satu tidak sama dengan kepentingan individu yang lain. Didalam masyarakat begitu banyak individu. Individu-individu tersebut mempunyai kepentingan dan tujuan hidup sendiri-sendiri, dan mempunyai cara serta jalan hidup sendiri-sendiri pula. Sehingga bila setiap individu tidak berhati-hati, maka kepentingan individu yang satu akan bertabrakan dengan kepentingan individu yang lain.
- Bahwa masyarakat itu sendiri selalu mengalami perkembangan-perkembangan. Masyarakat, betapapun statisnya, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan. Apalagi dengan berkembangnya kebutuhan manusia yang semakin kompleks, diiringi ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berkembang begitu pesat, serta perkembangan kebudayaan manusia yang dari kehidupan tradisional ke arah kehidupan moderen.
Bahkan akhir-akhir ini dengan kemajuan sains dan tekhnologi yang dicapai manusia, menjadikan nilai-nilai sosial manusia mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat pada konteks pekerjaan manusia yang menghendaki manusia bekerja menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan pekerjaannya sehingga menghilangkan sebagian waktunya untuk bergaul dan berinteraksi sosial dengan lingkungan sosial budayanya. Apalagi dunia maya mulai ramai dengan hadirnya “face book” yang merupakan jejaring sosial yang semakin memarjinalkan manusia dengan lingkungan sosialnya yang nyata, dimana terjadi saling bertukar informasi dan pergaulan yang semu. Hal ini menjadikan nilai-nilai sosial manusia semakin terpinggirkan.
Padahal pendidikan pada dasarnya adalah upaya manusia dan hasil budaya terbaik yang mampu disediakan setiap generasi manusia untuk kepentingan generasi berikutnya agar melanjutkan kehidupan dan cara hidupnya dalam konteks sosial budaya yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap masyarakat pluralistik di zaman moderen senantiasa menyiapkan warganya yang terpilih sebagai pendidik bagi kepentingan kelanjutan pendidikan dan kehidupan dari masyarakat bersangkutan. Pada sisi itulah diperlukan pendidikan, yang melampaui tata aturan di dalam keluarga namun tidak menghilangkan nilai-nilai sosial budaya yang terbanguan dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sosial yang lebih besar untuk meningkatkan harkat dan kepribadian individu agar menjadi manusia yang lebih cerdas dan mampu berada di tengah-tengah pergaulan masyarakatnya.
Dalam konteks ini, maka dapat dikatakan bahwa persoalan pendidikan merupakan suatu persoalan yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen. Karena pendidikan melibatkan berbagai unsur terkait dan komponen di dalamnya, maka beragam masalahpun sering bermunculan. Untuk itu diperlukan kondisi yang matang dan dinamis serta kesiapan pelaku pendidikan agar beragam masalah itu dapat disikapi secara arif dan bijaksana.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial yang terbentuk pada diri individu karena berada dalam lingkungan pergaulan sosialnya yang matang, merupakan landasan dasar guna membentuk dirinya sebagai manusia cerdas yang terbentuk dari lingkungan sosial yang memadai, yang pada akhirnya akan kembali berada dalam tatanan lingkungan masyarakat sosialnya yang lebih luas.
Nilai-Nilai Sosial Manusia
Siapakah manusia?.Pertanyaan ini terkadang membutuhkan jawaban yang harus dikaji dari berbagai sudut pandang. Namun pada hakekatnya, manusia adalah makhluk multi-dimensional, kumpulan terpadu baik fisik biologis maupun psychis (integrated), makhluk individual-sosial, makhluk rasional, makhluk religius, makhluk berbudaya, dan lain sebagainya.Manusia sejak kecil hidup dalam masyarakat. Ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga, dimana pada saat itu ia telah menjadi anggota lingkungan dan akan tetap menjadi anggota itu, sampai pada akhirnya akan menjadi bagian dari lingkungan sosial yang lebih besar, yakni lingkungan masyarakat dunia. Didalam kehidupannya, manusia sebagai makhluk sosial akan berinteraksi dengan manusia lain, juga dengan lingkungannya. Didalam berinteraksi itu, maka manusia akan berhadapan dengan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang diberlakukan di tengah-tengah kehidupan sosialnya yang menghendakinya untuk selalu mengikuti kaidah-kaidah tersebut sebagai makhluk sosial, agar sinergis dengan tatanan yang telah diatur sebagai bagian dari budaya sosialnya. Kaidah-kaidah sosial budaya tersebut diantaranya:
- Kaidah Moral
- Kaidah Sosial
- Kaidah Budaya
- Kaidah Agama
Proses sosial dimulai dari interaksi sosial dan dalam proses sosial itu selalu terjadi interaksi sosial. Menurut Made Pidharta (2000), interaksi dan proses sosial didasari oleh faktor-faktor:
1) Imitasi
Imitasi atau peniruan bisa bersifat positif, bisa pula negatif. Kalau anak meniru orang tuanya, gurunya, atau masyarakat lingkungan bergaulnya berpakaian rapai atau bertutur kata yang terpuji, maka anak ini sudah mensosialisasi diri secara positif baik terhadap orang tuanya, guru, maupun lingkungan sosialnya. Tetapi kalau anak meniru perilaku jelek dan negatif yang dilakukan orang tuanya, gurunya, masyarakat dilingkungan sosialnya, maka anak akan masuk pada lingkungan sosial negatif yang kemudian akan membentuk pribadi dan pola tingkah laku sosialnya dimasa datang.
2) Sugesti
Sugesti akan terjadi jika anak menerima atau tertarik pada apa yang dilihatnya terhadap mayoritas sikap orang-orang yang berwibawa dan bernilai positif, serta disegani dan dihormati di lingkungan sosialnya, maka Sugesti terhadap apa yang dilihatnya akan memberi jalan bagi anak untuk mensosialisasi dirinya dengan keadaan tersebut.
3) Identifikasi
Anakpun dapat mensosialisasikan dirinya lewat identifikasi, dimana anak berusaha atau mencoba menyamakan dirinya dengan orang lain, baik secara sadar maupun di bawah sadar.
4) Simpati
Simpati akan terjadi manakala seseorang merasa tertarik kepada orang lain. Faktor perasaan memegang peranan penting dalam simpati. Sebab itu, hubungan yang akrab perlu dikembangkan antara guru, orang tua, lingkungan sosial dengan anak, agar simpati ini mudah muncul, sosialisasi mudah terjadi, dan anak akan tertib mematuhi segala tata aturan yang diberlakukan di lingkungan keluarganya, sekolahnya, maupun di lingkungan masyarakatnya.
Maka untuk memudahkan terjadinya sosialisasi dalam pendidikan, guru perlu menciptakan situasi; terutama pada dirinya sendiri agar faktor-faktor yang mendasari sosialisasi itu muncul pada diri anak-anak. Coleman (1984) dalam Made Pidharta (2000) menulis bahwa hal yang terpenting dari fungsi sekolah ialah memberikan dan membangkitkan kebutuhan sosial dan rekreasi.
Kebutuhan rekreasi di sini membuat anak-anak akan merasa gembira, antusias, dan tidak merasa seperti dipaksa datang ke sekolah. Perasaan seperti ini bertalian erat dengan perasaan sosial. Karena bila anak-anak sudah dapat berteman dengan baik antara satu dengan yang lainnya, maka anak akan merasa aman, bebas dari rasa curiga dan takut, sehingga akan memberikan rasa senang, dan puas dalam belajar di sekolah.
Di dalam proses sosial terdapat interaksi sosial, yaitu suatu hubungan sosial yang dinamis. Interaksi ini menurut Made Pidharta (2000), akan terjadi apabila memenuhi 2 (dua) syarat:
1. Kontak sosial
Kontak sosial ini dapat berlangsung dalam 3 (tiga) bentuk, yakni:
- Kontak antar individu
- Kontak antara individu dengan kelompok sosialnya atau sebaliknya, dan
- Kontak antar kelompok
2. Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan sesorang kepada orang lain atau sekelompok orang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara; melalui pembicaraan, mellui mimik, melalui lambang-lambang, dan dengan alat-alat. Sedangkan bentuk-bentuk interaksi sosial menurut Abu Ahmadi (2003) antara lain:
- Kerjasama
- Akomodasi
- Asimilasi
- Persainganv
- Pertikaian
Nilai-Nilai Budaya Manusia
Kebudayaan, menurut Taylor yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Made Pidharta (2000) adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.Sedangkan menurut Hassan (1983) dalam Made Pidharta (2000), kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain-lain kepandaian.
Menurut Kneller yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Made Pidharta (2000), menyatakan bahwa kebudayaan adalah cara hidup yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa kebudayaan adalah hasil karya dan karsa manusia yang dikembangkan sebagai bagian dari peradaban manusia sepanjang masa yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam berlaku dan bertindak.
Kebudayaan bisa dikatakan bertahan lama ditengah-tengah peradaban manusia apabila kebudayaan tersebut memiliki nilai-nilai yang tetap berlaku dan bersifat universal, seperti; norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, adat-adat, tradisi-tradisi, gagasan-gagasan, ideologi-ideologi, teknologi, kesenian, dan benda-benda hasil ciptaan manusia.
Namun kebudayaan tetap akan mengalami proses penyempurnaan dan perubahan-perubahan sesuai perkembangan zaman dan kemajuan yang dicapai manusia. Perubahan-perubahan kebudayaan tersebut menurut Kneller yang dikutip Imran Manan (1989) dalam Pidharta (2000) disebabkan oleh:
- Originasi, yaitu sesuatu yang baru atau penemuan-penemuan baru. Hasil penemuan itu akan menggeser posisi penemuan-penemuan yang telah lama.
- Difusi, yaitu pembentukan kebudayaan baru akibat masuknya elemen-elemen budaya yang baru ke dalam budaya yang lama.
- Reinterpretasi, yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi elemen-elemen kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan zaman.
Suatau budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi manusia itu sendiri dalam mengembangkan dirinya. Adakalanya bagian budaya akan dipakai terus-menerus, adakalanya diperbaiki, dan adakalanya diganti dengan yang baru.
Dalam kehidupan manusia, kebudayaan ini perlu ditanamkan dari sejak anak-anak agar nilai-nilai kebudayaan ini bisa diperdomani dan menjadi bagian dari kehidupan anak dalam lingkungan sosial masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kebudayaan memiliki fungsi sangat sentral dalam kehidupan manusia. Kerbe dan Smith dalam Pidharta (2000) menyebutkan ada 6 (enam) fungsi utama kebudayaan dalam kehidupan manusia antara lain:
- Penerus keturunan dan pengasuhan anak. Suatu fungsi yang menjamin kelangsungan hidup biologis kelompok sosial. Budaya yang baik dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat menciptakan masyarakat sebagai tempat pengasuhan yang baik terhadap nilai-nilai budaya. Contohnya, budaya pemberian pemahaman yang baik terhadap penggunaan alat-alat kontrasepsi dan perbaikan kesehatan ibu dan anak menjadikan budaya ini sebagai wahana memperbaiki pola hidup dan peningkatan kualitas natalitas.
- Pengembangan kehidupan berekonomi. Pendidikan yang baik terhadap perilaku ekonomi masyarakat, menjadikannya sebagai budaya yang akan membuat orang mampu menjadi pelaku ekonomi yang baik, bisa berproduksi secara efektif dan efisien, dan mengembangkan bakat ekonomi pada bidang tertentu sehingga tercipta tenaga kerja yang baik, serta menjadi konsumen yang rasional. vTransmisi budaya. Salah satu bagian dari budaya adalah bagaimana pendidikan mampu membentuk dan mengembangkan generasi baru menjadi orang-orang dewasa yang berbudaya.
- Meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Subhana Wata’ala. Sebagai budaya, maka dibutuhkan pendidikan terhadap nilai-nilai keimanan ini agar terbentuk budaya keimanan yang kuat ditengah-tengah masyarakat. Pendidikan harus bisa membuat masyarakat mengembangkan kata hati dan perasaannya untuk taat terhadap ajaran-ajaran agama, mengembangkan tindakan dan perilaku yang cocok dengan ajaran agama. Sehingga budaya ini harus dididik sejak anak-anak.
- Pengendalian sosial, yakni pelembagaan konsep-konsep untuk melindungi kesejahteraan individu dan kelompok, serta masyarakat secara keseluruhan.
- Rekreasi, yakni kegiatan-kegiatan yang memberi kesempatan kepada orang untuk memuaskan kebutuhannya dalam rangka mengalihkan perhatiannya sementara dari rutinitas pekerjaan.
Semua warisan budaya tersebut disampaikan kepada generasi berikutnya lewat transmisi (penyebaran/pengoperan) pendidikan, kegiatan belajar mengajar, dan dengan penekanan pada faktor rasio dan wawasan. Oleh karena itu, upaya mendidik dan kegiatan belajar-mengajar pada anak itu sifatnya lebih kondisional dan kultural. Dalam pandangan ini maka van Peursen (1972) dalam Kartini Kartono (1997) menyebutkan bahwa; seluruh kebudayaan manusia itu adalah produk dari kegiatan belajar, dan kegiatan belajar itu berlangsung terus sepanjang sejarah manusia.
Pendidikan
Semua manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama; salah satu diantaranya adalah hak memperoleh pendidikan dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilannya. Pendidikan yang dimaksud adalah bagaimana manusia berupaya untuk memperoleh pemahaman dan pengalaman berupa pengetahuan yang berorientasi pada ilmu dan tekhnologi guna menunjang kehidupannya nanti. Dari pemahaman di atas, maka secara definitif pendidikan diartikan oleh para ahli diantaranya:- Ki Hajar Dewantara Mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
- Langeveld Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara oarang dewasa dengan orang yang belum dewasa.
- S.A. Bratanata dkk Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendidikan itu merupakan upaya yang dilakukan manusia dewasa; baik orang tua di dalam keluarga, masyarakat dilingkungan sosial, maupun guru di lingkungan sekolah, secara sadar dengan bantuan lingkungannya yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendewasaan diri.
Pendidikan adalah enkulturasi, dimana pendidikan merupakan suatu proses membuat orang menerima budaya, dan membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang diterimanya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, sebab di manapun orang berada, di situlah terjadi penyerapan nilai-nilai dan proses pendidikan yang berujung pada terciptanya budaya. Keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah adalah salah satu dari media/tempat enkulturasi. Dengan demikian maka sejak dini anak-anak perlu dididik untuk berpikir kritis agar enkulturasi dalam pendidikan tidak menyebabkan kekakuan dan menerima apa adanya.
Sehingga pendidikan itu memiliki fungsi sebagaimana dikemukakan oleh Wuraji (1988) dalam Made Pidharta (2000) antara lain:
- Pendidikan sebagai lembaga konservasi yang mencakup fungsi kontrol sosial, pelestari budaya, dan seleksi serta alokasi.
- Pendidikan sebagai perubah nilai-nilai sosial budaya yang mencakup reproduksi, difusi, meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis, memodifikasi hierarki ekonomi masyarakat, dan sebagai agen perubahan.
Pendidikan juga berfungsi sebagai; transmisi budaya, meningkatkan integritas sosial atau bermasyarakat, mengadakan seleksi dan alokasi tenaga kerja melalui pendidikan itu sendiri, dan mengembangkan kepribadian (Broom:1981 dalam Pidharta:2000).
Sehingga proses belajar yang baik dalam pendidikan tidaklah cukup bila hanya dilaksanakan di sekolah saja, tetapi lingkungan keluarga dan masyarakat juga merupakan wahana yang cukup ideal dalam kegiatan pengembangan pendidikan dan belajar anak. Karena nilai-nilai sosial budaya anak bisa lebih terbentuk sempurna apabila anak berada di tengah-tengah lingungan sosialnya yang nyata sehingga penyerapan nilai-nilai akan terbentuk kuat dalam sikap dan tingkah laku anak dengan cara meniru langsung nilai-nlai sosial budaya yang dialaminya di tengah-tengah lingkungan sosial budaya masyarakatnya.
Nilai-nilai Sosial Budaya sebagai Landasan Pendidikan
- Keluarga sebagai lingkungan sosial pendidikan
-
Kalau ditinjau dari ilmu Sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah, ibu, dan anak yang merupakan satu kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat.
- Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Orang tua secara otomatis langsung memikul tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik awal yang bersifat sebagai pemelihara, pengasuh, pembimbing, pembina, maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas kodrati dari manusia sebagai orang tua. Anak akan menyerap norma-norma pada anggota keluarganya. Sehingga dari sinilah anak akan belajar tentang pendidikan dari suasana yang dibangun dan diajarkan serta dicontohkan orang tuanya. Pendidikan itu berupa kebiasaan-kebiasaan yang kemudian akan tertanam dalam memori anak untuk menjadi bekal. Anak akan menyerap nilai-nilai yang ditanamkan dalam bentuk pembiasaan-pembiasaan yang kemudian akan diaplikasikan dalam kehidupan sosial dan bermasyarakatnya dikemudian hari kelak. Jika anak itu dibiasakan dan diajari perbuatan-perbuatan baik, maka anak akan mengaplikasikan apa yang diterimanya dalam kehidupannya, begitupula sebaliknya.
- Pendidikan keluarga adalah juga pendidikan sosial, karena disamping keluarga itu sendiri sebagai kesatuan kecil dari bentuk kesatuan-kesatuan masyarakat sosial, pendidikan keluarga yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anaknya di masyarakat kelak. Sehingga pembentukan karakter anak di lingkungan pendidikan keluarga yang sangat positif, akan berpengaruh terhadap warna pendidikannya dimasayarakat.
- Sekolah sebagai lingkungan sosial pendidikan
-
Sekolah sebagai lingkungan sosial budaya, memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Dengan sekolah, anak akan memperoleh pendidikan berupa pemahaman ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan merupakan wahana lanjutan dari pendidikan keluarga. Di sana anak akan bersosialisasi dengan lingkungan sosial yang lebih besar dan banyak dibandingkan lingkungan keluarganya yang terdiri dari jumlah masyarakat kecil. Anak akan berada pada lingkungan dimana dia tidak lagi hanya dengan kedua orang tuanya, tetapi dengan teman-teman dengan berbagai type, dan lingkungan pendidikannya yang telah jauh berbeda dengan keadaannya di dalam lingkungan keluarga. Anak akan merasakan bagaimana berbagi, bagaimana menahan keinginan-keinginan, bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan masih asing baginya serta aturan-aturan yang lebih luas cakupannya dibandingkan yang ada dalam keluarganya.
- Dengan demikian mengingat cukupnya waktu dan pentingnya fungsi sekolah dalam ikut serta membentuk kepribadian anak, maka pendidikan di sekolah harus bersifat menyeluruh. Mengapa demikian? Karena pendidikan yang hanya berorientasi pada intellectualistisch saja adalah kurang efektif, menghianati nilai-nilai psychology anak, bahkan bisa menghambat pertumbuhan rohani anak yang merupakan satu kesatuan utuh dari perkembangan manusia, dan akan melahirkan sistem rasionalisme pada anak tanpa pertimbangan nilai-nilai moral yang pada akhirnya tercipta anak yang individualistic.
- Masyarakat sebagai lingkungan sosial pendidikan
-
Kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih dan bekerjasama di bidang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu adalah merupakan sumber pendidikan bagi warga masyarakat, seperti lembaga-lembaga sosial budaya, yayasan-yayasan, organisasi-organisasi, perkumpulan-perkumpulan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pelaksana asas pendidikan masyarakat. Kesemua kelompok sosial tersebut merupakan unsur-unsur pelaku atau pelaksana asas pendidikan yang dengan sengaja dan sadar membawa masyarakat kepada kedewasaan, baik jasmani maupun rohani yang realisasinya terlihat pada perbuatan dan sikap kepribadian warga masyarakat.
- Norma sosial budaya sebagai bagian dari proses pendidikan.
-
Masalah pendidikan di keluarga dan sekolah tidak bisa terlepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dijunjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat. Setiap masyarakat, dimanapun berada tentu mempunyai karakteristik tersendiri sebagai norma khas di bidang sosial budayanya yang berbeda dengan karakteristik masyarakat lain, disamping norma-norma yang berlaku secara universal.
- Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya, dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian warga masyarakatnya dalam bertindak dan bersikap. Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-aturan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan yang dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan ini sudah merupakan proses pendidikan masyarakat.
- Setiap negara memiliki sistem pendidikan Nasional yang berbeda-beda, yang pada intinya terlahir dan dijiwai oleh sosial budaya bangsanya. Setiap aspek sosial budaya tersebut selalu sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah peradaban bangsa tersebut sehingga mewarnai gerak hidup negara tersebut, begitu juga dengan bangsa Indonesia.
maaf.. bisa dituliskn sumberny?? trims
BalasHapusSayang sekali referensi atau daftar pustakanya tidak ada..padahal artikelnya bagus.
BalasHapus